I.
Pokok-Pokok
Ekonomi Konvensional
Sistem ekonomi
kapitalis diawali dengan terbitnya buku The Wealth of Nation karangan
Adam Smith pada tahun 1776. Pemikiran Adam Smith memberikan inspirasi dan
pengaruh besar terhadap pemikiran para ekonom sesudahnya dan juga pengambil
kebijakan negara.
Lahirnya sistem
ekonomi kapitalis, sebenarnya merupakan perkembangan lebih lanjut dari
perkembangan pemikiran dan perekonomian benua Eropa pada masa sebelumnya. Pada
suatu masa, di Benua Eropa pernah ada suatu zaman dimana tidak ada pengakuan
terhadap hak milik manusia, melainkan yang ada hanyalah milik Tuhan yang harus
dipersembahkan kepada pemimpin agama sebagai wakil mutlak dari Tuhan. Pada
zaman tersebut yang kemudian terkenal dengan sistem universalisme.
Sistem ini ditegakkan atas dasar keyakinan kaum agama “semua datang dari Tuhan, milik Tuhan dan harus dipulangkan kepada Tuhan”.
Kemudian lahir pula golongan baru, yang mendekatkan
dirinya pada kaum agama, yaitu kaum feodal. Mereka ini yang berkuasa di
daerahnya masing-masing, lalu menguasai tanah-tanah dan memaksa rakyat menjadi
hamba sahaya yang harus menggarap tanah itu. Sistem feodal hidup subur di bawah
faham universalisme. Faham ini lebih terkenal dengan feodalisme. Jika kaum feodal
memaksa rakyat bekerja mati-matian, maka kaum agama dengan nama Tuhan
menghilangkan hak dari segala miliknya. Artinya kaum feodal yang bekerjasama
dengan kaum agama, telah mempermainkan seluruh hak milik manusia untuk
kepentingan mereka sendiri.
Gambaran yang
dapat diperoleh dari zaman kaum agama dan feodal ialah manusia hidup seperti
hewan, tidak mempunyai fikiran sendiri, tidak mempunyai hak atas dirinya
sendiri dan semuanya hanyalah kaum agama yang memilikinya. Inilah suatu
kesalahan besar yang pernah diperbuat oleh kaum agama di benua Eropa. Seluruh
masyarakat Eropa berontak dan mengadakan perlawanan menentang kaum agama dan
feodal. Pecahlah revolusi Perancis yang sudah terkenal itu.
Revolusi
Perancis (1789 – 1793) dipandang sebagai puncak kegelisahan dari rakyat yang
tertindas dan dirampas haknya. Dengan dendam dan kemarahan yang luar biasa
mereka menghancurkan universalisme dan feodalisme yang mengikat mereka. Tetapi,
akibatnya lebih buruk dari itu. Bukan saja mereka memusuhi kaum agama dan feodal,
tetapi juga menjatuhkan nama suci dari Tuhan yang selalu dibuat kedok oleh
kedua golongan di atas.
Di samping itu,
berkembangnya sistem ekonomi kapitalis juga dapat dirunut dari sejak munculnya
faham fisiokrat (abad 17) yang
mengatakan bahwa pertanian adalah dasar dari produksi negara, sebab itu,
seluruh perhatian harus ditumbuhkan kepada memperbesar hasil pertanian.
Kemudian lahir pula paham merkantilisme
(awal abad 18) yang mengatakan bahwa perdagangan adalah lebih penting dari
pertanian, karena itu pemerintah harus memberikan perhatiannya kepada mencari
perdagangan dengan negara-negara lainnya.
Pada pertengahan
abad ke-18, lahirlah paham baru yang dinamakan liberalisme dari Adam Smith (1723 – 1790) di Inggris. Menurut dia,
bukan soal pertanian atau perdagangan yang harus dipentingkan, tetapi titik
beratnya diletakkan pada pekerjaan dan kepentingan diri. Jika seseorang
dibebaskan untuk berusaha, dia harus dibebaskan pula untuk mengatur kepentingan
dirinya. Sebab itu ajaran laiser aller, laisser passer (merdeka
berbuat dan merdeka bertindak) menjadi pedoman bagi persaingan mereka.
Selanjutnya manusia memasuki kancah individualisme yang ditandai dengan nafsu
untuk menumpuk harta sebanyak-banyaknya yang ditimbulkan oleh persaingan yang
bebas tadi. Dari paham liberalisme, timbullah kaum borjuis. Kaum borjuis ini akhirnya menimbulkan sistem ekonomi,
sistem ekonomi kapitalis.
Berkembangnya
paham kapitalis menimbulkan reaksi yang ditandai dengan munculnya paham
komunisme. Paham ini lahir dari seorang Jerman, bernama Karl Marx pada tahun
1848 yang sangat kecewa terhadap sistem ekonomi kapitalis yang dianggap telah
menyengsarakan rakyat banyak. Silih berganti nasib yang dilalui paham Marx itu.
Tetapi akhirnya sewaktu Lenin mendirikan pertama kali negara komunis di Rusia
pada tahun 1917, maka marxisme telah menjejakkan kakinya dengan kuat sebagai
dasar bagi negara baru tersebut. Walapun ajaran komunisme ini pernah
menguasai hampir separo dari penduduk dunia, akan tetapi paham ini dianggap
telah runtuh bersamaan dengan runtuhnya Rusia.
Ilmu ekonomi konvensional sangat memegang teguh
asumsi bahwa tindakan individu adalah rasional. Rasionality assumption
dalam ekonomi menurut Roger LeRoy Miller adalah individuals do not
intentionally make decisions that would leave them worse off. Ini
berarti bahwa rasionaliti didefinisikan sebagai tindakan manusia dalam memenuhi
keperluan hidupnya yaitu memaksimumkan kepuasan atau keuntungan senantiasa
berdasarkan pada keperluan (need) dan keinginan-keinginan (want)
yang digerakkan oleh akal yang sehat dan tidak akan bertindak secara sengaja
membuat keputusan yang bisa merugikan kepuasan atau keuntungan mereka.
Adapun
konsep-konsep pemikiran penting dalam sistem ekonomi konvensional adalah sebagai berikut:
a)
Rational economic man
Ilmu ekonomi konvensional sangat
memegang teguh asumsi bahwa tindakan individu adalah rasional. Berdasarkan paham ini, tindakan individu dianggap rasional
jika tertumpu kepada kepentingan diri sendiri (self interest) yang menjadi satu-satunya tujuan bagi seluruh aktivitas. Dalam
implementasinya, rasionaliti ini dianggap dapt diterapkan hanya jika individu
diberikan kebebasan dalam arti yang seluas-luasnya, sehingga dengan sendirinya
di dalamnya terkandung individualisme dan liberalisme. Adam Smith menyatakan
bahwa tindakan individu yang mementingkan kepentingan diri sendiri pada
akhirnya akan membawa kebaikan masyarakat seluruhnya karena tangan tak tampak (invisible
hand) yang bekerja melalui proses kompetisi dalam mekanisme pasar. Oleh karena itu, kapitalisme sangat menjunjung tinggi pasar yang bebas dan
menganggap tidak perlu ada campur tangan pemerintah.
b)
Positivism
Kapitalisme
berusaha mewujudkan suatu ilmu ekonomi yang bersifat objektif, bebas dari
petimbangan moralitas dan nilai, dan karenanya berlaku universal. Ilmu ekonomi
telah dideklarasikan sebagai kenetralan yang maksimal di antara hasil akhir dan
independensi setiap kedudukan etika atau pertimbangan normatif. Untuk
mewujudkan obyektivitas ini, maka positivism telah menjadi bagian integral dari
paradigma ilmu ekonomi. Positivism menjadi sebuah keyakinan bahwa setiap
pernyataan ekonomi yang timbul harus mempunyai pembenaran dari fakta empiris.
Paham ini secara otomatis mengabaikan peran agama dalam ekonomi, sebab dalam
banyak hal, agama mengajarkan sesuatu yang bersifat normatif.
c)
Hukum Say
Terdapat
suatu keyakinan bahwa selalu terdapat keseimbangan (equilibrium) yang
bersifat alamiah, sebagaimana hukum keseimbangan alam dalam tradisi fisika
Newtonian. Jean Babtis Say menyatakan bahwa supply creates its own demand,
penawaran menciptakan permintaannya sendiri. Ini berimplikasi pada asumsi bahwa
tidak akan pernah terjadi ketidakseimbangan dalam ekonomi. Kegiatan produksi
dengan sendirinya akan menciptakan permintaannya sendiri, maka tidak akan
terjadi kelebihan produksi dan pengangguran. Implikasi selanjutnya, tidak perlu
ada intervensi pemerintah dalam kegiatan ekonomi. Intervensi pemerintah
dianggap justru akan mengganggu keseimbangan alamiah. Asumsi inilah yang
menjadi piranti keyakinan akan kehebatan pasar dalam menyelesaikan semua
persoalan ekonomi. Inilah salah satu paradigma ilmu ekonomi konvensional.
Tujuan
Ekonomi Konvensional
Sesuai dengan pahamnya tentang rational economics man, tindakan
individu dianggap rasional jika tertumpu kepada kepentingan diri sendiri (self
interest) yang menjadi satu-satunya tujuan bagi
seluruh aktivitas. Dalam ekonomi konvensional, perilaku rasional dianggap
ekuivalen (equivalent) dengan memaksimalkan utiliti. Ekonomi
konvensional mengabaikan moral dan etika dalam pembelanjaan dan unsur waktu
adalah terbatas hanya di dunia saja tanpa memikirkan hari akhirat.
Dalam sistem ekonomi kapitalis, materi adalah sangat
penting bahkan dianggap sebagai penggerak utama perekonomian. Dari sinilah
sebenarnya, istilah kapitalisme berasal, yaitu paham yang menjadikan kapital
(modal/material) sebagai isme. Perekonomian diatur oleh mekanisme
pasar. Pasar berfungsi memberikan “signal”
kepada produsen dan konsumen dalam bentuk harga-harga. Campur tangan pemerintah
diusahakan sekecil mungkin. “The
Invisible Hand” yang mengatur perekonomian menjadi efisien. Motif yang
menggerakkan perekonomian mencari laba.
II.
Pokok-Pokok
Ekonomi Islam
Pertumbuhan awal
terbentuknya ekonomi islam terjadi pada saat masa berdirinya negara Islam di
Madinah. Meskipun belum dikatakan sempurna sebagai sebuah studi ekonomi, tapi
masa itu merupakan benih bagi tonggak-tonggak timbulnya dasar ekonomi Islam.
Secara amaliyah, segala dasar dan praktek ekonomi Islam sebagai sebuah sistem
telah dipraktekkan pada masa itu, tentunya dengan kondisi yang amat sederhana
sesuai dengan masanya. Lembaga keuangan seperti bank dan perusahan besar (PT)
tentunya belum ditemukan. Namun demikian lembaga moneter di tingkat
pemerintahan telah ada, yaitu berupa Baitul Mal. Perusahaan (PT) pun telah dipaktekkan
dalam skala kecil dalam bentuk musyarakah.
Sistem Ekonomi Islam
Sistem ekonomi
islam adalah suatu sistem ekonomi yang didasarkan pada ajaran dan nilai-nilai islam. Sumber dari keseluruhan
nilai tersebut sudah tentu Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Nilai-nilai sistem
ekonomi islam ini merupakan bagian integral dari keseluruhan ajaran islam yang
komprehensif dan telah dinyatakan Allah SWT. Sebagai ajaran yang sempurna. (QS
Al-Maidah ayat 3).
Didalam
sistem ekonomi islam terdapat asas-asas yang membangun sistem ekonomi islam.
Yaitu :
1.
Cara
Pemilikan Harta Dalam Islam (Al-Milkiyah)
Terdapat
tiga jenis pemilikan dalam
islam. Yaitu :
·
Hak
Milik Umum: meliputi mineral-mineral dalam bentuk padar, cair dan gas termasuk
petroleum, besi, tembaga, emas dan sebagainya yang didapati sama ada di dalam
perut bumi atau di atasnya, termasuk juga segala bentuk tenaga dan intensif
tenaga serta industri-industri berat. Semua ini merupakan hak milik umum dan
wajib diuruskan (dikelola) oleh Daulah Islamiyah (negara) manakala manfaatnya
wajib dikembalikan kepada rakyat
·
Hak
Milik Negara meliputi segala bentuk bayaran yang dipungut oleh negara secara
syar’i dari warganegara, bersama dengan perolehan dari pertanian, perdagangan
dan aktivitas industri, di luar dari lingkungan pemilikan umum di atas. Negara
membelanjakan perolehan tersebut untuk kemaslahatan negara dan rakyat
·
Hak
Milik Individu: selain dari kedua jenis pemilikan di atas, harta-harta lain
boleh dimiliki oleh individu secara syar’i dan setiap individu itu perlu
membelanjakannya secara syar’i juga.
2.
Cara
Pengelolaan Kepemilikan (At-Tasharruf Fi Al Milkiyah)
Secara
dasarnya, pengelolaan kepemilikan harta kekayaan yang telah dimiliki mencakup
dua kegiatan, yaitu :
- Pembelanjaan Harta (Infaqul Mal)
Pembelanjaan
harta (infaqul mal) adalah pemberian harta kekayaan yang telah dimiliki. Dalam
pembelanjaan harta milik individu yang ada, Islam memberikan tuntunan bahwa
harta tersebut haruslah dimanfaatkan untuk nafkah wajib seperti nafkah
keluarga, infak fi sabilillah, membayar zakat, dan lain-lain. Kemudian nafkah
sunnah seperti sedekah, hadiah dan lain-lain. Baru kemudian dimanfaatkan untuk
hal-hal yang mubah (harus). Dan hendaknya harta tersebut tidak dimanfaatkan
untuk sesuatu yang terlarang seperti untuk membeli barang-barang yang haram
seperti minuman keras, babi, dan lain-lain.
- Pengembangan Harta (Tanmiyatul Mal)
Pengembangan
harta (tanmiyatul mal) adalah kegiatan memperbanyak jumlah harta yang telah
dimiliki. Seorang muslim yang ingin mengembangkan harta yang telah dimiliki,
wajib terikat dengan ketentuan Islam berkaitan dengan pengembangan harta.
Secara umum Islam telah memberikan tuntunan pengembangan harta melalui
cara-cara yang sah seperti jual-beli, kerja sama syirkah yang Islami dalam
bidang pertanian, perindustrian, maupun perdagangan. Selain Islam juga melarang
pengembangan harta yang terlarang seperti dengan jalan aktiviti riba, judi,
serta aktivitas terlarang lainnya.
- Pengelolaan kepemilikan yang berhubungan dengan kepemilikan umum
itu adalah hak negara (Daulah Islamiyah), kerana negara adalah wakil
ummat. Meskipun menyerahkan kepada negara untuk mengelolanya, namun Allah
SWT telah melarang negara untuk mengelola kepemilikan umum tersebut dengan
jalan menyerahkan penguasaannya kepada orang tertentu. Sementara mengelola
dengan selain dengan cara tersebut diperbolehkan, asal tetap berpijak
kepada hukum-hukum yang telah dijelaskan oleh syara'.
Adapun pengelolaan kepemilikan yang berhubungan dengan
kepemilikan negara dan kepemilikan individu, nampak jelas dalam hukum-hukum
baitul mal serta hukum-hukum muamalah, seperti jual-beli, gadai (rahn), dan
sebagainya. As Syari' juga telah memperbolehkan negara dan individu untuk
mengelola masing-masing kepemilikannya, dengan cara tukar menukar (mubadalah)
atau diberikan untuk orang tertentu ataupun dengan cara lain, asal tetap
berpijak kepada hukum-hukum yang telah dijelaskan oleh syara’.
Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam
Choudhury dalam
bukunya Contribution to Islamic Economic
Theory (1986) menjelaskan bahwa prinsip dasar ekonomi islami adalah tauhid (unity, persaudaraan (brotherhood, kerja (work), produktivitas (productivity)
dan keadilan atau kesamaan hak (distributional
equity).
Jadi seseorang yang ingin melakukan kegiatan ekonomi
yang dituntun oleh nilai-nilai Islam harus melandaskan perilakunya pada prinsip
kesatuan (tawheed/unity) dengan
Tuhannya. Artinya setiap langkah dan kegiatan ekonomi kita, baik dalam bentuk
kerja (work) ataupun memproduksi (productivity), selalu merasa dalam
pengawasan-Nya dan tunduk terhadap norma yang telah ditetapkan-Nya (sunnatullah). Serta diimbangi dengan
semangat persaudaraan (brotherhood) antara
sesama yang diwujudkan dalam semangat keadilan dan kesamaan hak. Dalam bentuk
keseharian, prinsip persaudaraan diilustrasikan dengan sikap saling
tolong-menolong (ta’awun). Jika pada
suatu kondisi yang lebih (aghniyai),
maka berdasarkan prinsip brotherhood dan
distributional equity, tindakan yang harus dilakukan adalah membagi
kelebihan tersebut dengan yang kurang (masakin).
Ekonomi
konvensional yang mengutamakan kepentingan individu dan memaksimulkan
kemanfaatan (utilitas) dapat mendatangkan bencana bagi kehidupan manusia.
Sebab, mereka cenderung mennggalkan nilai agama dan tidak mempedulikan halal haram dalam upaya
mencari rezeki. Saat ini, mulai muncul kesadaran diantara para ekonom sekkuler
bahwa praktek ekonomi mereka keliru, karena mengabaikan nilai moral, agama dan
kemanusiaan. (Saefuddin Muhammad, 2002 : 78)
Sistem
ekonomi Islam, yang menganut mekanisme pasar, memberikan kebebasan penuh kepada
para pelaku bisnis termasuk podusen dan konsumen. Pasar dalam ekonomi Islam
menganut sistem pasar bebas terkendali. Artinya, campur tangan pemerintah
dibolehkan jika memang diibutuhkan untuk menjamin kepentingan masyarakat dan
menjaga pasar agar dapat berjalan dengan kondisi perekonomian yang sebenarnya.
Ini sejalan dengan prinsip ekonomi Islam yang tidak memandang kepentingan
individu di atas kepentingan bersama.
Ibn
Taimiyah mengemukakan beberapa ciri dan prinsip pasar sebagai implikasi dari doktrin kebebasan ekonomi dalam
Islam:
1. Setiap
orang bebas masuk dan meninggalkan pasar
2. Harus
ada informasi yang jelas mengenai kekuatan pasar dan barang-barang dagangan
(komoditi)
3. Tidak
boleh ada unsur monopoli
4. Haram
hukumnya melakukan penyimpangan dari prinsip kebebasan ekonomi yang jujur,
seperti melakukan sumpah palsu, takaran yang tidak tepat dan berniat buruk.
Tujuan Utama Ekonomi Islam
Tujuan ekonomi Islam membawa kepada konsep al-fallah (kejayaan) di dunia dan di
akhirat. Ekonomi Islam meletakkan manusia sebagai khalifah di muka bumi ini di
mana segala bahan-bahan yang ada di bumi diperuntukkan untuk manusia.
Kesemuannya bertujuan untuk beribadah kepada Allah swt. Manusia merupakan
makhluk sosial (zone politicon)
karena itu soal pemilikan harta terdapat hak milik individu dan juga terdapat
hak masyarakat umum.
Implikasinya, aktifitas ekonomi yang dilakukan
senantiasa dapat dipertanggungjawabkan, baik pertanggungjawaban sosial maupun
pertanggungjawaban terhadap pemilik alam raya ini, Allah SWT. Konsep tujuan ini
yang sangat mendukung terciptanya keseimbangan alam semesta meskipun aktifitas
ekonomi berupa pemanfaat kekayaan alam terus dilakukan. Sistem ekonomi Islam
melihat ektifitas ekonomi sebagai
sebuah ibadah, karena itu, aktifitas ekonomi yang dilakukan senantiasa membawa
ke-mashlahatan,
baik bagi masyarakat maupun bagi eksistensi agama. Tujuan sistem ekonomi
konvensional hanya berorientasi duniawi tanpa melihat dimensi eskatologisnya.
Perbedaan
Mendasar Sistem Ekonomi Islam dengan Ekonomi Konvensional
No
|
Isu
|
Islam
|
Konvensional
|
1
|
Sumber
|
Al-Quran
|
Daya fikir
manusia
|
2
|
Motif
|
Ibadah
|
Rasional
matearialism
|
3
|
Paradigma
|
Syariah
|
Pasar
|
4
|
Pondasi
dasar
|
Muslim
|
Manusia
ekonomi
|
5
|
Landasan
fillosofi
|
Falah
|
Utilitarian
individualism
|
6
|
Harta
|
Pokok kehidupan
|
Asset
|
7
|
Investasi
|
Bagi hasil
|
Bunga
|
8
|
Distribusi
kekayaan
|
Zakat, infak, shodaqoh, hibah,
hadiah, wakaf dan warisan.
|
Pajak dan
tunjangan
|
9
|
Konsumsi-produksi
|
Maslahah, kebutuhan dan kewajiban
|
Egoism,
materialism, dan rasionalisme
|
10
|
Mekanisme
pasar
|
Bebas dan dalam pengawasan
|
Bebas
|
11
|
Pengawas
pasar
|
Wilayatul Hisba
|
NA
|
12
|
Fungsi
Negara
|
Penjamin kebutuhan minimal dan
pendidikan melalui baitul mal
|
Penentu
kebijakan melalui Departemen-departemen
|
13
|
Bangunan
ekonomi
|
Bercorak perekonomian real
|
Dikotomi
sektoral yang sejajar ekonomi riil dan moneter
|
Perbedaan yang sering didengar antara dua sistem yang berbeda ini :
Bunga
|
Bagi Hasil
|
Penentuan
bunga dibuat pada waktu akad dengan asumsi usaha akan selalu menghasilkan
keuntungan
|
Penentuan
besarnya nisbah bagi hasil disepakati pada waktu akad dengan berpedoman pada
kemungkiinan untung rugi
|
Besarnya
presentasididasarkan pada jumlah modal yang dipinjamkan.
|
Besarnya
rasio bagi hasil didasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh.
|
Bunga
dapat mengambang dan besarnnya naik turun sesuai dengan naik turunnya kondisi
ekonomi
|
Rasio bagi
hasil tetap tidak berubah selama akad masih berlaku, kecuali diubah atas
kesepakatan bersama.
|
Pembayaran
bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa mempertimbangkan apakah usaha yang
dijalankan untung atau rugi.
|
Bagi hasil
bergantung pada keuntungan usaha yang dijalankan. Bila usaha merugi, kerugian
ditangggung bersama.
|
Jumlah
pembayaran bunga tidak meningkat sekalipun keuntungan berlipat
|
Jumlah
pembagian laba meningkat sesuai dengan peningkatan keuntungan.
|
Eksistensi
bunga diragukan (kalau tidak dikecam) oleh semua agama.
|
Tidak ada
yang meragukan keabsahan bagi hasil
|
eknomi islam menjamin kesejahtraan Semua masyarakat..
BalasHapusSedangkan konvensional hanya mensejahtraka kaum(golongan tertentu) Indifidu...