A.
Lahirnya
Ilmu Tauhid
Ilmu tauhid adalah ilmu yang membicarakan tentang cara-cara
menetapkan akidah agama dengan mempergunakan dalil-dalil yang meyakinkan, baik
dalil naqli, dalil aqli maupun dalil wijdani (perasaan halus). Ilmu ini
dinamakan tauhid karena pembahasannya yang paling menonjol adalah menyangkut
pokok-pokok ke-Esaan Allah yang merupakan landasan pokok agama Islam, dan
menyangkut agama yang benar yang telah dibawakan oleh para Rasul Allah. Ilmu ini tumbuh
bersama-sama dengan tumbuhnya agama di dunia ini, sebagaimana tumbuhnya agama
Islam.
Namunjika dikaji secara keseluruhan, ia dapat
dikelompokkan kepada 2 faktor yaitu intern dan ekstern.
1.
Faktor
Intern
a)
Al-Quran
Surat
Al An’am : 76-78
Artinya :
“Ketika
malam telah gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: "Inilah
Tuhanku", tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: "Saya
tidak suka kepada yang tenggelam".”
“Kemudian tatkala dia
melihat bulan terbit dia berkata: "Inilah Tuhanku" Tetapi setelah
bulan itu terbenam, dia berkata: "Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi
petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang yang sesat".”
“Kemudian tatkala ia
melihat matahari terbit, dia berkata: "Inilah Tuhanku, ini yang lebih
besar". Maka tatkala matahari itu terbenam, dia berkata: "Hai kaumku,
sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan.”
b)
Pada periode pertama
masalah keimanan tidak dipersoalkan secara mendalam. Setelah Nabi wafat dan
Ummat islam bersentuhan dengan kebudayaan dan peradaban asing, mereka mulai
mengenal Filsafat, merekapun menfilsafati al-Qur’an, terutama ayat-ayat yang
secara lahir nampak satu sama lain tidak sejalan, bahkan kelihatan
bertentangan. Hal tersebut perlu dipecahkan sebaik mungkin, dan untuk memecahkannya
perlu suatu ilmu tersendiri.
c)
Persoalan Politik yang
Merembet kepada Masalah Tauhid
Ketika
terbunuhnya Khalifah Usman bin Affan, muncul persoalan tauhid : Apakah pembunuh
tersebut dosa besar atau tidak? Setelah Perang Siffein antara Ali bin Abi
Thalib, muncul isu hokum pelaku dosa besar, apakah dia kafir atau tidak? Dan
dimana tempatnya, sorga atau neraka?. Kekhalifahan juga menjadi masalah,
masalah agama atau masalah dunia.
2.
Faktor
Extern
Adapun
faktor yang berasal dari luar antara lain:
1. Banyak diantara pemeluk-pemeluk islam yang
mula-mula beragama yahudi, masehi dan lain-lain,bahkan diantara mereka pernah
ada yang menjadi ulama’nya. Sehingga setelah ia memegang teguh agama islam ia
mengingat-ingat kembali ajaran agamanya dan memasukkannya kedalam ajaran islam.
2. Golongan
islam yang dulu, terutama mu’tazilah memusatkan perhatiannya untuk penyiaran
islam dan membantah bagi mereka yang memusuhi islam. menurut mereka, mereka
tidak dapat melawan lawannya jika mereka tidak tahu pendapat apa yang digunakan
lawannya. Dengan demikian mereka harus menyelami pendapat tersebut. Salah satu
satunya yaitu penggunaan filsafat.
3. Sebagai
kelanjutan dari sebab tersebut, para mutakalimin hendak mengimbangi
lawan-lawannya yang menggunakan filsafat, maka mereka terpaksa mempelajari
logika dan filsafat, terutama segi ketuhanan. Karena itu Annazam (tokoh
Mu’tazilah) mempelajari buku-buku Aristoteles dan membantah pendapatnya,
demikian juga dengan Abul Huzail Al-Allaf (tokoh Mu’tazilah).
B.
Masa
Ilmu Tauhid
Ilmu tauhid ini telah melalui
beberapa masa, yaitu:
1. Perkembangan Ilmu
Tauhid di masa Rasulullah SAW.
Masa
Rasulullah saw merupakan periode pembinaan aqidah dan peraturan-peraturan
dengan prinsip kesatuan umatdan kedaulatan Islam. Segala masalah yang kabur
dikembalikan langsung kepada Rasulullah saw sehingga beliau berhasil
menghilangkan perpecahan antara ummatnya. Masing-masing pihak tentu
mempertahankan kebenaran pendapatnya dengan dalil-dalil, sebagaimana telah
terjadi dlam agama-agama sebelum Islam. Rasulullah mengajak kaum muslimin untuk
mentaati Allah swt dan RasulNya serta menghindari dari perpecahan yang
menyebabkan timbulnya kelemahan dalam segala bidang sehingga menimbulkan
kekacauan. Allah swt berfirman dalam Al-Quran surat al-Anfal ayat 46, yang
artinya: “Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu
berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu
dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar”. Dan surat
Al-Maidah ayat 15, yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
bertemu dengan orang-orang yang kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah
kamu membelakangi mereka (mundur)”.
Pengalaman pahit orang Kristen menjadi bukti karena perpecahan membuat mereka hancur. Mereka melupakan perjanjian Allah swt akan beriman teguh, sehingga Allah menumbuhkan rasa permusuhan dalam dada mereka yang mengakibatkan timbulnya golongan yang saling bertengkar dan bercerai berai seperti golongan Nasturiyah, Ya’kubiyah dan Mulkaniah.
Perbedaan pendapat memang dibolehkan tetapi jangan sampai pada pertengkaran, terutama dalam maslah aqidah ini. Demikian pula dalam menghadapi agama lain, kaum muslimin harus bersikap tidak membenarkan apa yang mereka sampaikan dan tidak pula mendustainya. Yang harus dikata kaum muslimin adalah telah beriman kepada Allah dan wahyuNya, yang telah diturunkan kepada kaum muslimin juga kepada mereka. Tuhan Islam dan Tuhan mereka adalah satu (Esa).
Bila terjadi perdebatan haruslah dihadapi dengan nasihat dan peringatan. Berdebat dengan cara baik dan dapat menghasilkan tujuan dari perdebatan, sehingga terhindar dari pertengkaran. Allah swt berfirman dalam Al-Quran surat An-Nahl ayat 125, yang artinya: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”. Dengan demikian Tauhid di zaman Rasulullah saw tidak sampai kepada perdebatan dan polemik yang berkepanjangan, karena Rasul sendiri menjadi penengahnya.
Pengalaman pahit orang Kristen menjadi bukti karena perpecahan membuat mereka hancur. Mereka melupakan perjanjian Allah swt akan beriman teguh, sehingga Allah menumbuhkan rasa permusuhan dalam dada mereka yang mengakibatkan timbulnya golongan yang saling bertengkar dan bercerai berai seperti golongan Nasturiyah, Ya’kubiyah dan Mulkaniah.
Perbedaan pendapat memang dibolehkan tetapi jangan sampai pada pertengkaran, terutama dalam maslah aqidah ini. Demikian pula dalam menghadapi agama lain, kaum muslimin harus bersikap tidak membenarkan apa yang mereka sampaikan dan tidak pula mendustainya. Yang harus dikata kaum muslimin adalah telah beriman kepada Allah dan wahyuNya, yang telah diturunkan kepada kaum muslimin juga kepada mereka. Tuhan Islam dan Tuhan mereka adalah satu (Esa).
Bila terjadi perdebatan haruslah dihadapi dengan nasihat dan peringatan. Berdebat dengan cara baik dan dapat menghasilkan tujuan dari perdebatan, sehingga terhindar dari pertengkaran. Allah swt berfirman dalam Al-Quran surat An-Nahl ayat 125, yang artinya: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”. Dengan demikian Tauhid di zaman Rasulullah saw tidak sampai kepada perdebatan dan polemik yang berkepanjangan, karena Rasul sendiri menjadi penengahnya.
2. Perkembangan Ilmu
Tauhid pada masa Khullafaurrasyidun.
Setelah
Rosulullah saw wafat, dalam masa kholifah pertama dan kedua, umat islam tidak
sempat membahas dasar-dasar akidah karena mereka sibuk menghadapi musuh dan
berusaha memprtahankan kesatuan dan kesatuan umat. Tidak pernah terjadi
perbedan dalam bidang akidah. Mereka membaca dan memahamkan al qur’an tanpa
mencari ta’wil dari ayat yang mereka baca. Mereka mengikuti perintah alqur’an
dan mereka menjauhi larangannya.mereka mensifatkan allah swt dengan apa yang
allah swt sifatkan sendiri. Dan mereka mensucikan allah swt dari sifat-sifat
yang tidak layak bagi keagungan allah swt. Apabila mereka menghadapi ayat-ayat
yang mutasyabihah mereka yang mengimaninya dengan menyerahkan penta’wilannya
kepada allah swt sendiri.
Di masa kholifah ketiga akibat terjadi kekacauan politik yang diakhiri dengan terbunuhnya kholifah usman umat islam menjadi terpecah menjadi beberapa golongan dan partai, barulah masing-masing partai dan golonongan-golongan itu dengan perkataan dan usaha dan terbukalah pintu ta’wil bagi nas al qur’an dan hadits. Karena itu, pembahasan mengenai akidah mulai subur dan berkembang, selangkah demi selangkah dan kian hari kian membesar dan meluas.
Di masa kholifah ketiga akibat terjadi kekacauan politik yang diakhiri dengan terbunuhnya kholifah usman umat islam menjadi terpecah menjadi beberapa golongan dan partai, barulah masing-masing partai dan golonongan-golongan itu dengan perkataan dan usaha dan terbukalah pintu ta’wil bagi nas al qur’an dan hadits. Karena itu, pembahasan mengenai akidah mulai subur dan berkembang, selangkah demi selangkah dan kian hari kian membesar dan meluas.
3. Perkembangan
Ilmu Tauhid di masa Daulah Umayyah.
Dalam masa ini
kedaulatan Islam bertambah kuat sehingga kaum muslimin tidak perlu lagi
berusaha untuk mempertahankan Islam seperti masa seebelumnya. Kesempatan ini
digunakan kaum muslimin untuk mengembangkan pengetahuan dan pengertian tentang
ajaran Islam. Lebih lagi dengan berduyun-duyun pemeluk agama lain memeluk
Islam, yang jiwanya belum bisa sepenuhnya meninggalkan unsur agamanya, telah
menyusupkan beberapa ajarannya. Masa inilah mulai timbul keinginan bebas
berfikir dan berbicara yang selama ini didiamkan oleh golongan Salaf.
Muncullah
sekelompok umat Islam membicarakan masalah Qadar (Qadariyah) yang menetapkan
bahwa manusia itu bebas berbuat, tidak ditentukan Tuhan. Sekelompok lain
berpendapat sebaliknya, manusia ditentukan Tuhan, tidak bebas berbuat
(Jabariyah). Kelompok Qadariyah ini tidak berkembang dan melebur dalam Mazhab
mu’tazilah yang menganggap bahwa manusia itu bebas berbuat (sehingga mereka
menamakan dirinya dengan “ahlu al-adli”), dan meniadakan semua sifat pada
Tuhan karena zat Tuhan tidak tersusun dari zat dan sifat, Ia Esa (inilah mereka
juga menamakan dirinya dengan “ahlu at-Tauhid”).
Penghujung abad
pertama Hijriah muncul pula kaum Khawarij yang mengkafirkan orang muslim yang
mengerjakan dosa besar, walaupun pada mulanya mereka adalah pengikut Ali bin
Abi Thalib, akhirnya memisahkan diri karena alasan politik. Sedangkan kelompok
yang tetap memihak kepada Ali membentuk golongan Syi’ah.
4. Perkembangan
Ilmu Tauhid Di Masa Daulah Abbasyiah.
Masa
ini merupakan zaman keemasan dan kecemerlangan Islam, ketika terjadi hubungan
pergaulan dengan suku-suku di luar arab yang mempercepat berkembangnya ilmu
pengetahuan. Usaha terkenal masa tersebut adalah penterjemahan besar-besaran
segala buku Filsafat.
Para khalifah menggunakan keahlian orang Yahudi, Persia dan Kristen sebagai juru terjemah, walaupun masih ada diantara mereka kesempatan ini digunakan untuk mengembangkan pikiran mereka sendiri yang diwarnai baju Islam tetapi dengan maksud buruk. Inilah yang melatarbelakangi timbulnya aliran-aliran yang tidak dikehendaki Islam. Dalam masa ini muncul polimik-polimik menyerang paham yang dianggap bertentangan. Misalnya dilakukan oleh ‘Amar bin Ubaid al-Mu’tazili dengan bukunya “Ar-Raddu ‘ala al-Qadariyah” untuk menolak paham Qadariyah. Hisyam bin al-Hakam As-Syafi’i dengan bukunya “al-Imamah, al-Qadar, al-Raddu ‘ala Az-Zanadiqah” untuk menolak paham Mu’tazilah. Abu Hanifah dengan bukunya “al-Amin wa al-Muta’allim” dan “Fiqhu al-Akbar” untuk mempertahankan aqidah Ahlussunnah.
Dengan mendasari diri pada paham pendiri Mu’tazilah Washil bin Atha’, golongan Mu’tazilah mengembangkan pemahamannya dengan kecerdasan berpikir dan memberi argumen. Sehingga pada masa khalifah al-Makmun, al-Mu’tasim dan al-Wasiq, paham mereka menjadi mazhab negara, setelah bertahun-tahun tertindas di bawah Daulah Umayyah. Semua golongan yang tidak menerima Mu’tazilah ditindas, sehingga masyarakat bersifat apatis kepada mereka. Saat itulah muncul Abu Hasan al-‘Asy’ary, salah seorang murid tokoh Mu’tazilah al-Jubba’i menentang pendapat gurunya dan membela aliran Ahlussunnah wal Jama’ah. Dia berpandangan “jalan tengah” antara pendapat Salaf dan penentangnya. Abu Hasan menggunakan dalil naqli dan aqli dalam menentang Mu’tazilah. Usaha ini mendapat dukungan dari Abu al-Mansur al-Maturidy, al-Baqillani, Isfaraini, Imam haramain al-Juaini, Imam al-Ghazali dan Ar-Razi yang datang sesudahnya.
Usaha para mutakallimin khususnya al-Asy’ary dikritik oleh Ibnu Rusydi melalui bukunya “Fushush al-Maqal fii ma baina al-Hikmah wa asy-syarizati min al-Ittishal” dan “al-Kasyfu an Manahiji al-Adillah”. Beliau mengatakan bahwa para mutakallimin mengambil dalil dan muqaddimah palsu yang diambil dari Mu’tazilah berdasarkan filsafat, tidak mampu diserap oleh akal orang awam. Sudah barang tentu tidak mencapai sasaran dan jauh bergeser dari garis al-Quran. Yang benar adalah mempertemukan antara syariat dan filsafat.
Dalam mengambil dalil terhadap aqidah Islam jangan terlalu menggunakan filsafat karena jalan yang diterangkan oleh al-Quran sudah cukup jelas dan sangat sesuai dengan fitrah manusia. Disnilah letaknya agama Islam itu memperlihatkan kemudahan. Dengan dimasukkan filsafat malah tambah sukar dan membingungkan.
Para khalifah menggunakan keahlian orang Yahudi, Persia dan Kristen sebagai juru terjemah, walaupun masih ada diantara mereka kesempatan ini digunakan untuk mengembangkan pikiran mereka sendiri yang diwarnai baju Islam tetapi dengan maksud buruk. Inilah yang melatarbelakangi timbulnya aliran-aliran yang tidak dikehendaki Islam. Dalam masa ini muncul polimik-polimik menyerang paham yang dianggap bertentangan. Misalnya dilakukan oleh ‘Amar bin Ubaid al-Mu’tazili dengan bukunya “Ar-Raddu ‘ala al-Qadariyah” untuk menolak paham Qadariyah. Hisyam bin al-Hakam As-Syafi’i dengan bukunya “al-Imamah, al-Qadar, al-Raddu ‘ala Az-Zanadiqah” untuk menolak paham Mu’tazilah. Abu Hanifah dengan bukunya “al-Amin wa al-Muta’allim” dan “Fiqhu al-Akbar” untuk mempertahankan aqidah Ahlussunnah.
Dengan mendasari diri pada paham pendiri Mu’tazilah Washil bin Atha’, golongan Mu’tazilah mengembangkan pemahamannya dengan kecerdasan berpikir dan memberi argumen. Sehingga pada masa khalifah al-Makmun, al-Mu’tasim dan al-Wasiq, paham mereka menjadi mazhab negara, setelah bertahun-tahun tertindas di bawah Daulah Umayyah. Semua golongan yang tidak menerima Mu’tazilah ditindas, sehingga masyarakat bersifat apatis kepada mereka. Saat itulah muncul Abu Hasan al-‘Asy’ary, salah seorang murid tokoh Mu’tazilah al-Jubba’i menentang pendapat gurunya dan membela aliran Ahlussunnah wal Jama’ah. Dia berpandangan “jalan tengah” antara pendapat Salaf dan penentangnya. Abu Hasan menggunakan dalil naqli dan aqli dalam menentang Mu’tazilah. Usaha ini mendapat dukungan dari Abu al-Mansur al-Maturidy, al-Baqillani, Isfaraini, Imam haramain al-Juaini, Imam al-Ghazali dan Ar-Razi yang datang sesudahnya.
Usaha para mutakallimin khususnya al-Asy’ary dikritik oleh Ibnu Rusydi melalui bukunya “Fushush al-Maqal fii ma baina al-Hikmah wa asy-syarizati min al-Ittishal” dan “al-Kasyfu an Manahiji al-Adillah”. Beliau mengatakan bahwa para mutakallimin mengambil dalil dan muqaddimah palsu yang diambil dari Mu’tazilah berdasarkan filsafat, tidak mampu diserap oleh akal orang awam. Sudah barang tentu tidak mencapai sasaran dan jauh bergeser dari garis al-Quran. Yang benar adalah mempertemukan antara syariat dan filsafat.
Dalam mengambil dalil terhadap aqidah Islam jangan terlalu menggunakan filsafat karena jalan yang diterangkan oleh al-Quran sudah cukup jelas dan sangat sesuai dengan fitrah manusia. Disnilah letaknya agama Islam itu memperlihatkan kemudahan. Dengan dimasukkan filsafat malah tambah sukar dan membingungkan.
5. Perkembangan Ilmu
Tauhid sesudah Daulah Abbasyiah.
Sesudah
masa Bani Abbasiyah datanglah pengikut Al Asy‘ari yang terlalu jauh menceburkan
dirinya ke dalam falsafah, mencampurkan mantiq dan lain-lain, kemudian
mencampurkan semuanya itu dengan ilmu kalam sebagaimana yang dilakukan oleh
Al-Baidlawi dalam kitabnya Ath Thawawi dan Abuddin Al-Ijy dalam kitab
Al-Mawaqif.
Madzhab Al-Asy‘ari berkembang pesat kesetara pelosok hingga tidak ada lagi madzhab yang menyalahinya selain madzhab hambaliyah yang tetap bertahan dalam madzhab salaf, yaitu beriman sebagaimana yang tersebut dalam alquran dan al hadits tanpa mentakwilkan ayat-ayat atau hadits-hadits itu.
Pada permulaan abad kedelapan hijriyah lahirlah di Damaskus seorang ulama’ besar yaitu Taqiyuddin Ibnu Taimayah menentang urusan yang berlebih-lebihan dari pihak-pihak yang mencampur adukkan falsafah dengan kalam, atau menentang usaha-usaha yang memasukkan prinsip-prinsip falsafah ke dalam akidah islamiyah.
Ibnu Tamiyah membela madzab salaf ( sahabat, tabi’in dan imam-imam mujahidin) dan membantah pendirian-pendirian golongan al asy’ariyah dan lain-lain, baik dari golongan rafidhah, maupun dari golongan sufiyah. Maka karenanya masyarakat islam pada masa itu menjadi dua golongan, pro dan kontra, ada yang menerima pandapat-pendapat ibnu taimiyah dengan sejujur hati, karena itulah akidah ulama’ salaf dan ada pula yang mengatakan bahwa ibnu taimiyah itu orang yang sesat.
Jalan yang ditempuh oleh Ibnu Taimiyah ini diteruskan oleh muridnya yang terkemuka yaitu Ibnu Qayyimil Jauziyah. Maka sesudah berlalu masa ini, tumpullah kemauan, lenyaplah daya kreatif untuk mempelajari ilmu kalam seksama dan tinggallah penulis-penulis yang hanya memperkatakan makna-makna lafadz dan ibarat-ibarat dari kitab-kitab peninggalan lama.
Kemudian diantara gerakan ilmiah yang mendapat keberkaha dariAllah, ialah gerakan al iman Muhammad ‘abdu dan gurunya jmaluddin Al-Afghani yang kemudian dilanjutka oleh As-Said Rosyid Ridla. Usaha-usaha beliau inilah, yang telah membangun kembali ilmu-ilmu agama dan timbullah jiwa baru yang cenderung untuk mempelajari kitab-kitab Ibnu Taimiyah dan muridnya. Anggota-anggota gerakan ini dinamakan salafiyyin.
Madzhab Al-Asy‘ari berkembang pesat kesetara pelosok hingga tidak ada lagi madzhab yang menyalahinya selain madzhab hambaliyah yang tetap bertahan dalam madzhab salaf, yaitu beriman sebagaimana yang tersebut dalam alquran dan al hadits tanpa mentakwilkan ayat-ayat atau hadits-hadits itu.
Pada permulaan abad kedelapan hijriyah lahirlah di Damaskus seorang ulama’ besar yaitu Taqiyuddin Ibnu Taimayah menentang urusan yang berlebih-lebihan dari pihak-pihak yang mencampur adukkan falsafah dengan kalam, atau menentang usaha-usaha yang memasukkan prinsip-prinsip falsafah ke dalam akidah islamiyah.
Ibnu Tamiyah membela madzab salaf ( sahabat, tabi’in dan imam-imam mujahidin) dan membantah pendirian-pendirian golongan al asy’ariyah dan lain-lain, baik dari golongan rafidhah, maupun dari golongan sufiyah. Maka karenanya masyarakat islam pada masa itu menjadi dua golongan, pro dan kontra, ada yang menerima pandapat-pendapat ibnu taimiyah dengan sejujur hati, karena itulah akidah ulama’ salaf dan ada pula yang mengatakan bahwa ibnu taimiyah itu orang yang sesat.
Jalan yang ditempuh oleh Ibnu Taimiyah ini diteruskan oleh muridnya yang terkemuka yaitu Ibnu Qayyimil Jauziyah. Maka sesudah berlalu masa ini, tumpullah kemauan, lenyaplah daya kreatif untuk mempelajari ilmu kalam seksama dan tinggallah penulis-penulis yang hanya memperkatakan makna-makna lafadz dan ibarat-ibarat dari kitab-kitab peninggalan lama.
Kemudian diantara gerakan ilmiah yang mendapat keberkaha dariAllah, ialah gerakan al iman Muhammad ‘abdu dan gurunya jmaluddin Al-Afghani yang kemudian dilanjutka oleh As-Said Rosyid Ridla. Usaha-usaha beliau inilah, yang telah membangun kembali ilmu-ilmu agama dan timbullah jiwa baru yang cenderung untuk mempelajari kitab-kitab Ibnu Taimiyah dan muridnya. Anggota-anggota gerakan ini dinamakan salafiyyin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar