Perbedaan Filsafat dengan Ilmu Kalam
Ilmu kalam merupakan disiplin ilmu
keislaman yang mengedepankan persoalan kalam Tuhan dengan dasar-dasar
argumentasi, baik rasional/aqliyah (berpikir filosofis) maupun naqliyah
(dalil-dalil Al-Qur’an dan Hadits). Ilmu kalam atau ushuluddin atau aqidah atau
teologi membahas masalah ketuhanan dan kewajiban manusia terhadap tuhan,
tentang keimanan, serta kufur dengan menggunakan argumentasi logika. Berbicara
Siapa yang sebenarnya muslim dan masih tetap dalam islam, siapa yang sebenarnya
kafir den telah keluar dari islam, bagaimana dengan muslim yang mengerjakan hal
haram dan kafir yang mengerjakan hal baik. Empat masalah pokok dalam ilmu kalam
yaitu mengetahui tuhan dan kewajiban mengetahui tuhan serta mengetahui baik dan
jahat dan kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi kejahatan.
Ilmu kalam memiiki hubungan sengan
disipin ilmu-ilmu keislaman lainnya. Ilmu kalam berhubungan terutama dengan
filsafat dan tasawuf dan yang lainnya misalnya fiqih dan ushul fiqih ditinjau
melalui objek kajian, hasil kajian (kebenaran) yang memuncukan titik persamaan
diantara ketiganya sedangkan metode, perkembangan keilmuan, dasar argumentasi,
dan dilihat dari aspek aksiologi sehingga muncul pula titik perbedaan diantara
keduanya.
Sedangkan filsafat adalah ilmu yang berusaha mencari sebab
segala sesuatu, memecahkan permasalahan, mencari kebenaran sesungguhnya. Di
kalangan umat Islam, filsafat dianggap perlu dipelajari sebab filsafat
bermanfaat untuk mengembangkan pemikiran, menyiarkan, memperkuat, dan
mempertahankan aqidah Islam.
Filsafat dijadikan sebagai aat untuk
membenarkan nash agama. Filsafat mengawali pembuktiannya dengan argumentasi
akal, barulah pembenarannya diberikan wahyu sedangkan ilmu kalam mencari wahyu
yang berbicara tentang keberadaan Tuhan baru kemudian didukung oleh argumentasi
akal.
Perbedaan antara kedua ilmu tersebut
terletak pada aspek metodologinya. Ilmu kalam, sebagai ilmu yang menggunakan
logika (aqliyah landasan pemahaman yang cenderung menggunakan metode berfikir
filosofis) dan argumentasi naqliyah yang berfungsi untuk mempertahankan
keyakinan ajaran agama. Pada dasarnya ilmu ini menggunakan metode dialektika
(jadilah) /dialog keagamaan.Sementara filsafat adalah sebuah ilmu yang
digunakan untuk memperoleh kebenaran rasional. Filsafat menghampiri kebenaran
dengan cara menuangkan akal budi secara radikal (mengakar) dan integral
(menyeluruh) serta universal (mendalam) dan terikat logika.
Di dalam pertumbuhannya, ilmu kalam
(teologi) berkembang menjadi teologi rasional dan teologi tradisional. Filsafat
berkembang menjadi sains dan fisafat sendiri. Dilihat dari aspek aksiologinya,
ilmu kalam berperan sebagai ilmu yang mengajak orang yang baru untuk mengenal
rasio sebagai upaya mengenal Tuhan secara rasional. Adapun filsafat berperan
sebagai ilmu yang mengajak kepada orang yang mempunyai rasio secara prima untuk
mengenal Tuhan secara bebas melalui pengamatan dan kajian alam dan ekosistemnya
langsung.
Tauhid
Sebagai Aqidah dan Filsafah Hidup Manusia
Tauhid
sangat bermanfaat bagi kehidupan umat manusia. Ia tidak hanya sekedar
memberikan ketentraman batin dan menyelamatkan manusia dari kesesatan dan
kemusyrikan, tetapi juga berpengaruh besar terhadap pembentukan sikap dan
perilaku keseharian seseorang. Ia tidak hanya berfungsi sebagai akidah, tetapi
berfungsi pula sebagai falsafah hidup. Kehadiran tauhid sebagai ilmu merupakn
hasil pengkajian para ulama terhadap apa yang tersurat dan tersirat di dalam al
qur’an dan hadits.
Salah
satu keunggulan Islam dibanding semua agama lain di dunia adalah identitas
tauhid yang melekat di dalamnya. Sebagai agama tauhid, Islam menempatkan
keesaan Allah pada posisi tertinggi. Dalam pandangan Islam, tuhan hanya satu,
the only one; dan the only one itu adalah Allah yang merupakan sumber atau
pusat dari segala sesuatu yang ada di alam semesta. Prinsip itu dipertegas
dengan memposisikan tauhidullah pada urutan pertama rukun Islam.
Setiap
manusia disebut muslim jika ia melaksanakan rukun Islam pertama dengan
mengucapkan laailaahaillallaah muhammadur rasuulullaah. Dalam ikrar itulah,
kalimat tauhid dikumandangkan. Kalimat itu tak pernah lepas dari ucapan muslim
setiap kali ia shalat. Kalimat itu juga dibaca ketika adzan, kala shalat akan
ditegakkan. Artinya, setiap muslim sebenarnya sudah di-setting Allah untuk
menjadi manusia tauhid, yakni manusia yang senantiasa mengesakan Allah dan
menerapkan sifat-sifat Illahi dalam jejak kehidupannya di alam semesta.
Kalimat
tauhid merupakan esensi dari ajaran Islam. Ia adalah fondasi dari seluruh
bangunan Islam. Pandangan hidup tauhid bukan saja mengesakan Allah, melainkan
juga meliputi keyakinan kesatuan penciptaan (unity of creation), kesatuan
kemanusiaan (unity of mankind), kesatuan tuntunan hidup (unity of the guidance
of life), dan kesatuan tujuan hidup (unity of the purpose of life); yang
semuanya merupakan derivasi dari kesatuan ketuhanan (unity of Godhead).
Wujud
dari kesatuan ketuhanan itu terpancar jelas dari persaksian manusia tauhid
bahwa laailaahaillallaah, tidak ada tuhan selain Allah. Dengan mengatakan “la”,
berarti manusia tauhid menyatakan “tidak” terhadap segala sumber keyakinan dan
kekuatan nonilahiah. Jadi, pada setiap yang bukan tauhid, manusia tauhid harus
berani mengatakan tidak. Sehingga, tidak ada tuhan, tidak ada kekuatan lain
kecuali Allah, laa haula wa laa quwwata illaa billaah. Itu berarti, sebelum
meyakini Allah, kita wajib mengingkari yang selain Allah.
Karena
itu, karakteristik pertama manusia tauhid adalah sikap penolakannya terhadap
pedoman hidup yang datangnya bukan dari Allah. Dalam QS Al Baqarah ayat 256
ditegaskan: “Barangsiapa mengingkari, mengufuri, dan menolak semua objek
persembahan kecuali Allah, maka dia memegang tali yang kokoh.” Sebagai objek
persembahan, Allah adalah sumber kebenaran. Dengan meyakini Allah sebagai
sumber kebenaran, manusia tauhid harus berani mengatakan tidak pada semua
ketidakbenaran. Ia harus berani melawan kebatilan, kekufuran, kebobrokan,
keburukan. Tiada rasa takut untuk melakukan itu karena ketakutan hanya
ditujukan kepada Allah.
Ketiadaan
rasa takut itu juga mengandung makna pembebasan bagi manusia. Manusia
dibebaskan dari menyembah sesama manusia dan mengalihkanya kepada menyembah
Allah semata. Semuanya tak mempunyai kewajiban mengamba pada manusia lain dan
tak memiliki hak menundukkan manusia lain. Hanya kepada Allah lah manusia wajib
menghamba dan hanya Allah yang berhak menuntut ketertundukan manusia.
Pembebasan itu adalah titik balik (turning point) paling penting dalam sejarah
kehidupan umat manusia. Betapa tidak, dengan pembebasan itu, manusia tidak ada
yang lebih tinggi dan juga tak ada yang lebih rendah dibanding manusia lain.
Semuanya dalam posisi setara. Semuanya berkedudukan sama. Yang membedakannya
hanya tingkat ketakwaannya (QS Al Hujurat: 13).
Kedua,
manusia tauhid memiliki komitmen utuh pada Tuhannya. Tauhid berarti komitmen
manusia kepada Allah sebagai fokus dari segala sumber. Allah lah satu-satunya
sumber nilai. Segala sesuatu bersumber dari Allah dan segala sesuatu pasti akan
kembali kepada Allah. Apa yang dikehendaki Allah, akan menjadi pedoman manusia
tauhid dalam melangkahkan kaki menyusuri jalan kehidupan. Misalnya saja, Allah
mencintai keindahan, maka keindahan itu pula yang akan digelorakan manusia tauhid.
Keindahan itu bisa berwujud dalam perilaku yang santun, tampilan yang bersih,
sikap yang tawadhu’, atau tutur kata yang sopan. Manusia tauhid tak mau
menerima otoritas dan petunjuk selain dari Allah. Ia berusaha secara maksimal
untuk menjalankan pesan dan perintah Allah sesuai dengan kadar kemampuan yang
ada.
Ketiga,
manusia tauhid mempunyai tujuan hidup yang jelas. Dengan bertauhid, seorang
muslim juga memproklamasikan kehidupannya hanya untuk Allah. Deklarasi itu
berbunyi inna shalaatii wanusukii wamahyaaya wamamaatii lillaahi rabbil
‘aalamin, laa syariikalahuu wa bidzaalika umirtu wa ana awwalul muslimiin.
Artinya: “Sesungguhnya shalatku dan ibadahku, hidupku dan matiku, aku
persembahkan semata-mata hanya kepada Allah, Tuhan sekalian alam. Tidak ada sekutu
bagi-Nya. Demikianlah aku diperintahkan dan aku ini termasuk orang-orang yang
berserah diri.” Dekalarasi itu selalu diucapkan setiap shalat dan berlaku
sepanjang hayat. Itulah visi hidup manusia tauhid. Berlandaskan visi itu, ia
akan melihat dunia ini sebagai panggung kehidupan yang jelas, tertuju,
terfokus; bukannya pangung sandiwara yang penuh dengan rekayasa, kepura-puraan,
ilusi, dan fatamorgana. Karenanya, bagi manusia tauhid, everything in the world
is so clear, semuanya terang benderang.
Muhammad
Iqbal mempertegas posisi manusia tauhid itu dengan manusia kafir. Kata Iqbal:
“the sign of a muslim is that the horizon is lost in him, the sign of a kafir
is that he is lost in the horizon.” Artinya, orang kafir selalu tersesat dalam
cakrawala kehidupan, dan sebaliknya seorang muslim berjiwa tauhid bakal mampu
melarutkan cakrawala kehidupan itu dalam dirinya. Pendek kata, orang kafir tak
tahu tujuan hidupnya. Ia mudah terbujuk rayu godaan harta, tahta, dan wanita.
Sedangkan, manusia tauhid memiliki kepribadian kokoh, karakter kuat, tak mudah
terombang-ambing. Oleh sebab itulah, manusia tauhid tak akan tergelincir. Lewat
tangan Allah, ia menyetir kehidupan, bukannya kehidupan yang menyetir dia.
Setiap
fenomena kehidupan di alam semesta seperti siang dan malam, lautan dan daratan,
matahari, bumi, bulan, bintang, manusia, hewan, tumbuhan dan seluruh isi alam
semesta dianggap manusia tauhid sebagai ayat atau tanda-tanda kekuasaan Allah
yang menunjukkan adanya tauhidul wujud (kesatuan eksistensi). Eksistensi Allah
terpapar jelas secara horizontal. Wujud Allah tidak hanya di atas. Wujud Allah
ada dimana-mana.
Karenanya, manusia tauhid tidak melulu melihat ke atas, tetapi ia akan melihat ke segala arah. Manusia tauhid tak hanya bertindak secara vertikal, tetapi juga horizontal. Ia senantiasa menebarkan rahmat ke alam semesta. Baginya, alam semesta adalah arena memperbanyak amal shaleh. Ia berupaya sekuat tenaga agar mampu memberikan manfaat seluas-luasnya kepada seluruh umat manusia beserta bumi tempatnya berpijak. Makanya, tak ada cerita manusia tauhid merusak lingkungan. Bohong apabila manusia tauhid buang sampah sembarangan. Dusta jika manusia tauhid berbuat kejahatan. Sebab, jika ia melakukan itu semua, berarti ia mengingkari deklarasinya menjadikan Allah sebagai sumber kekuatan.
Karenanya, manusia tauhid tidak melulu melihat ke atas, tetapi ia akan melihat ke segala arah. Manusia tauhid tak hanya bertindak secara vertikal, tetapi juga horizontal. Ia senantiasa menebarkan rahmat ke alam semesta. Baginya, alam semesta adalah arena memperbanyak amal shaleh. Ia berupaya sekuat tenaga agar mampu memberikan manfaat seluas-luasnya kepada seluruh umat manusia beserta bumi tempatnya berpijak. Makanya, tak ada cerita manusia tauhid merusak lingkungan. Bohong apabila manusia tauhid buang sampah sembarangan. Dusta jika manusia tauhid berbuat kejahatan. Sebab, jika ia melakukan itu semua, berarti ia mengingkari deklarasinya menjadikan Allah sebagai sumber kekuatan.
Keempat,
manusia tauhid juga mempunyai misi jelas tentang kehidupan yang hendak dibangun
bersama manusia lain. Misi manusia tauhid adalah mewujudkan sebuah orde
kehidupan yang sesuai dengan keinginan Allah. Maka, perubahan harus selalu
didengungkan oleh manusia tauhid. Tentu, bukan perubahan menuju keburukan,
tetapi perubahan menuju kebaikan. Ia harus terpanggil untuk menjebol kejumudan
masyarakat. Ia harus tergerak untuk mengubah tatanan masyarakat menjadi tatanan
yang berkeadilan sosial, berperikemanusiaan, dan berkesejahteraan menuju
tatanan yang beradab; bukannya tatanan yang biadab. Pembentukan orde sosial
yang adil dan etis adalah tugas yang diperintahkan Allah melalui Al Quran.
Manusia
tauhid tak boleh diam kala kerusakan melanda bumi. Ia harus terlibat dalam
upaya jihad memberantas segala kemunkaran di sekelilingnya. Tetapi, itu
bukanlah tujuan akhir, sebab tujuan akhir dari perjalanan manusia tauhid adalah
kebahagiaan akhirat. Untuk itu, totalitas jihad dengan mengerahkan segala daya
upaya tak boleh berhenti dikumandangkan demi terciptanya nilai-nilai yang diridhai
Allah (At Taubah: 40).
Kelima,
manusia tauhid bersikap progresif dengan selalu menilai kualitas kehidupannya.
Apabila ditemukan unsur-unsur syirik, ia akan membongkar kehidupannya dan
membangunnya kembali agar sesuai dengan pesan-pesan Illahi. Ia tak menganggap
dirinya sebagai orang besar karena yang besar hanyalah Allah. Anggapan seperti
itulah yang menggiringnya untuk selalu merasa kecil di hadapan Allah. Karenanya,
ia tidak akan menyombongkan diri, sebab yang berhak sombong hanyalah Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar