Selasa, 31 Juli 2012

Aplikasi Keimanan Dalam Berbagai Aspek Kehidupan


  Perbedaan Filsafat dengan Ilmu Kalam

Ilmu kalam merupakan disiplin ilmu keislaman yang mengedepankan persoalan kalam Tuhan dengan dasar-dasar argumentasi, baik rasional/aqliyah (berpikir filosofis) maupun naqliyah (dalil-dalil Al-Qur’an dan Hadits). Ilmu kalam atau ushuluddin atau aqidah atau teologi membahas masalah ketuhanan dan kewajiban manusia terhadap tuhan, tentang keimanan, serta kufur dengan menggunakan argumentasi logika. Berbicara Siapa yang sebenarnya muslim dan masih tetap dalam islam, siapa yang sebenarnya kafir den telah keluar dari islam, bagaimana dengan muslim yang mengerjakan hal haram dan kafir yang mengerjakan hal baik. Empat masalah pokok dalam ilmu kalam yaitu mengetahui tuhan dan kewajiban mengetahui tuhan serta mengetahui baik dan jahat dan kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi kejahatan.

Ilmu kalam memiiki hubungan sengan disipin ilmu-ilmu keislaman lainnya. Ilmu kalam berhubungan terutama dengan filsafat dan tasawuf dan yang lainnya misalnya fiqih dan ushul fiqih ditinjau melalui objek kajian, hasil kajian (kebenaran) yang memuncukan titik persamaan diantara ketiganya sedangkan metode, perkembangan keilmuan, dasar argumentasi, dan dilihat dari aspek aksiologi sehingga muncul pula titik perbedaan diantara keduanya.
            Sedangkan filsafat adalah ilmu yang berusaha mencari sebab segala sesuatu, memecahkan permasalahan, mencari kebenaran sesungguhnya. Di kalangan umat Islam, filsafat dianggap perlu dipelajari sebab filsafat bermanfaat untuk mengembangkan pemikiran, menyiarkan, memperkuat, dan mempertahankan aqidah Islam.

Filsafat dijadikan sebagai aat untuk membenarkan nash agama. Filsafat mengawali pembuktiannya dengan argumentasi akal, barulah pembenarannya diberikan wahyu sedangkan ilmu kalam mencari wahyu yang berbicara tentang keberadaan Tuhan baru kemudian didukung oleh argumentasi akal.
           
Perbedaan antara kedua ilmu tersebut terletak pada aspek metodologinya. Ilmu kalam, sebagai ilmu yang menggunakan logika (aqliyah landasan pemahaman yang cenderung menggunakan metode berfikir filosofis) dan argumentasi naqliyah yang berfungsi untuk mempertahankan keyakinan ajaran agama. Pada dasarnya ilmu ini menggunakan metode dialektika (jadilah) /dialog keagamaan.Sementara filsafat adalah sebuah ilmu yang digunakan untuk memperoleh kebenaran rasional. Filsafat menghampiri kebenaran dengan cara menuangkan akal budi secara radikal (mengakar) dan integral (menyeluruh) serta universal (mendalam) dan terikat logika.
           
Di dalam pertumbuhannya, ilmu kalam (teologi) berkembang menjadi teologi rasional dan teologi tradisional. Filsafat berkembang menjadi sains dan fisafat sendiri. Dilihat dari aspek aksiologinya, ilmu kalam berperan sebagai ilmu yang mengajak orang yang baru untuk mengenal rasio sebagai upaya mengenal Tuhan secara rasional. Adapun filsafat berperan sebagai ilmu yang mengajak kepada orang yang mempunyai rasio secara prima untuk mengenal Tuhan secara bebas melalui pengamatan dan kajian alam dan ekosistemnya langsung.

      Tauhid Sebagai Aqidah dan Filsafah Hidup Manusia

Tauhid sangat bermanfaat bagi kehidupan umat manusia. Ia tidak hanya sekedar memberikan ketentraman batin dan menyelamatkan manusia dari kesesatan dan kemusyrikan, tetapi juga berpengaruh besar terhadap pembentukan sikap dan perilaku keseharian seseorang. Ia tidak hanya berfungsi sebagai akidah, tetapi berfungsi pula sebagai falsafah hidup. Kehadiran tauhid sebagai ilmu merupakn hasil pengkajian para ulama terhadap apa yang tersurat dan tersirat di dalam al qur’an dan hadits.

Salah satu keunggulan Islam dibanding semua agama lain di dunia adalah identitas tauhid yang melekat di dalamnya. Sebagai agama tauhid, Islam menempatkan keesaan Allah pada posisi tertinggi. Dalam pandangan Islam, tuhan hanya satu, the only one; dan the only one itu adalah Allah yang merupakan sumber atau pusat dari segala sesuatu yang ada di alam semesta. Prinsip itu dipertegas dengan memposisikan tauhidullah pada urutan pertama rukun Islam.

Setiap manusia disebut muslim jika ia melaksanakan rukun Islam pertama dengan mengucapkan laailaahaillallaah muhammadur rasuulullaah. Dalam ikrar itulah, kalimat tauhid dikumandangkan. Kalimat itu tak pernah lepas dari ucapan muslim setiap kali ia shalat. Kalimat itu juga dibaca ketika adzan, kala shalat akan ditegakkan. Artinya, setiap muslim sebenarnya sudah di-setting Allah untuk menjadi manusia tauhid, yakni manusia yang senantiasa mengesakan Allah dan menerapkan sifat-sifat Illahi dalam jejak kehidupannya di alam semesta.

Kalimat tauhid merupakan esensi dari ajaran Islam. Ia adalah fondasi dari seluruh bangunan Islam. Pandangan hidup tauhid bukan saja mengesakan Allah, melainkan juga meliputi keyakinan kesatuan penciptaan (unity of creation), kesatuan kemanusiaan (unity of mankind), kesatuan tuntunan hidup (unity of the guidance of life), dan kesatuan tujuan hidup (unity of the purpose of life); yang semuanya merupakan derivasi dari kesatuan ketuhanan (unity of Godhead).

Wujud dari kesatuan ketuhanan itu terpancar jelas dari persaksian manusia tauhid bahwa laailaahaillallaah, tidak ada tuhan selain Allah. Dengan mengatakan “la”, berarti manusia tauhid menyatakan “tidak” terhadap segala sumber keyakinan dan kekuatan nonilahiah. Jadi, pada setiap yang bukan tauhid, manusia tauhid harus berani mengatakan tidak. Sehingga, tidak ada tuhan, tidak ada kekuatan lain kecuali Allah, laa haula wa laa quwwata illaa billaah. Itu berarti, sebelum meyakini Allah, kita wajib mengingkari yang selain Allah.

Karena itu, karakteristik pertama manusia tauhid adalah sikap penolakannya terhadap pedoman hidup yang datangnya bukan dari Allah. Dalam QS Al Baqarah ayat 256 ditegaskan: “Barangsiapa mengingkari, mengufuri, dan menolak semua objek persembahan kecuali Allah, maka dia memegang tali yang kokoh.” Sebagai objek persembahan, Allah adalah sumber kebenaran. Dengan meyakini Allah sebagai sumber kebenaran, manusia tauhid harus berani mengatakan tidak pada semua ketidakbenaran. Ia harus berani melawan kebatilan, kekufuran, kebobrokan, keburukan. Tiada rasa takut untuk melakukan itu karena ketakutan hanya ditujukan kepada Allah.

Ketiadaan rasa takut itu juga mengandung makna pembebasan bagi manusia. Manusia dibebaskan dari menyembah sesama manusia dan mengalihkanya kepada menyembah Allah semata. Semuanya tak mempunyai kewajiban mengamba pada manusia lain dan tak memiliki hak menundukkan manusia lain. Hanya kepada Allah lah manusia wajib menghamba dan hanya Allah yang berhak menuntut ketertundukan manusia. Pembebasan itu adalah titik balik (turning point) paling penting dalam sejarah kehidupan umat manusia. Betapa tidak, dengan pembebasan itu, manusia tidak ada yang lebih tinggi dan juga tak ada yang lebih rendah dibanding manusia lain. Semuanya dalam posisi setara. Semuanya berkedudukan sama. Yang membedakannya hanya tingkat ketakwaannya (QS Al Hujurat: 13).

Kedua, manusia tauhid memiliki komitmen utuh pada Tuhannya. Tauhid berarti komitmen manusia kepada Allah sebagai fokus dari segala sumber. Allah lah satu-satunya sumber nilai. Segala sesuatu bersumber dari Allah dan segala sesuatu pasti akan kembali kepada Allah. Apa yang dikehendaki Allah, akan menjadi pedoman manusia tauhid dalam melangkahkan kaki menyusuri jalan kehidupan. Misalnya saja, Allah mencintai keindahan, maka keindahan itu pula yang akan digelorakan manusia tauhid. Keindahan itu bisa berwujud dalam perilaku yang santun, tampilan yang bersih, sikap yang tawadhu’, atau tutur kata yang sopan. Manusia tauhid tak mau menerima otoritas dan petunjuk selain dari Allah. Ia berusaha secara maksimal untuk menjalankan pesan dan perintah Allah sesuai dengan kadar kemampuan yang ada.

Ketiga, manusia tauhid mempunyai tujuan hidup yang jelas. Dengan bertauhid, seorang muslim juga memproklamasikan kehidupannya hanya untuk Allah. Deklarasi itu berbunyi inna shalaatii wanusukii wamahyaaya wamamaatii lillaahi rabbil ‘aalamin, laa syariikalahuu wa bidzaalika umirtu wa ana awwalul muslimiin. Artinya: “Sesungguhnya shalatku dan ibadahku, hidupku dan matiku, aku persembahkan semata-mata hanya kepada Allah, Tuhan sekalian alam. Tidak ada sekutu bagi-Nya. Demikianlah aku diperintahkan dan aku ini termasuk orang-orang yang berserah diri.” Dekalarasi itu selalu diucapkan setiap shalat dan berlaku sepanjang hayat. Itulah visi hidup manusia tauhid. Berlandaskan visi itu, ia akan melihat dunia ini sebagai panggung kehidupan yang jelas, tertuju, terfokus; bukannya pangung sandiwara yang penuh dengan rekayasa, kepura-puraan, ilusi, dan fatamorgana. Karenanya, bagi manusia tauhid, everything in the world is so clear, semuanya terang benderang.

Muhammad Iqbal mempertegas posisi manusia tauhid itu dengan manusia kafir. Kata Iqbal: “the sign of a muslim is that the horizon is lost in him, the sign of a kafir is that he is lost in the horizon.” Artinya, orang kafir selalu tersesat dalam cakrawala kehidupan, dan sebaliknya seorang muslim berjiwa tauhid bakal mampu melarutkan cakrawala kehidupan itu dalam dirinya. Pendek kata, orang kafir tak tahu tujuan hidupnya. Ia mudah terbujuk rayu godaan harta, tahta, dan wanita. Sedangkan, manusia tauhid memiliki kepribadian kokoh, karakter kuat, tak mudah terombang-ambing. Oleh sebab itulah, manusia tauhid tak akan tergelincir. Lewat tangan Allah, ia menyetir kehidupan, bukannya kehidupan yang menyetir dia.

Setiap fenomena kehidupan di alam semesta seperti siang dan malam, lautan dan daratan, matahari, bumi, bulan, bintang, manusia, hewan, tumbuhan dan seluruh isi alam semesta dianggap manusia tauhid sebagai ayat atau tanda-tanda kekuasaan Allah yang menunjukkan adanya tauhidul wujud (kesatuan eksistensi). Eksistensi Allah terpapar jelas secara horizontal. Wujud Allah tidak hanya di atas. Wujud Allah ada dimana-mana.
Karenanya, manusia tauhid tidak melulu melihat ke atas, tetapi ia akan melihat ke segala arah. Manusia tauhid tak hanya bertindak secara vertikal, tetapi juga horizontal. Ia senantiasa menebarkan rahmat ke alam semesta. Baginya, alam semesta adalah arena memperbanyak amal shaleh. Ia berupaya sekuat tenaga agar mampu memberikan manfaat seluas-luasnya kepada seluruh umat manusia beserta bumi tempatnya berpijak. Makanya, tak ada cerita manusia tauhid merusak lingkungan. Bohong apabila manusia tauhid buang sampah sembarangan. Dusta jika manusia tauhid berbuat kejahatan. Sebab, jika ia melakukan itu semua, berarti ia mengingkari deklarasinya menjadikan Allah sebagai sumber kekuatan.

Keempat, manusia tauhid juga mempunyai misi jelas tentang kehidupan yang hendak dibangun bersama manusia lain. Misi manusia tauhid adalah mewujudkan sebuah orde kehidupan yang sesuai dengan keinginan Allah. Maka, perubahan harus selalu didengungkan oleh manusia tauhid. Tentu, bukan perubahan menuju keburukan, tetapi perubahan menuju kebaikan. Ia harus terpanggil untuk menjebol kejumudan masyarakat. Ia harus tergerak untuk mengubah tatanan masyarakat menjadi tatanan yang berkeadilan sosial, berperikemanusiaan, dan berkesejahteraan menuju tatanan yang beradab; bukannya tatanan yang biadab. Pembentukan orde sosial yang adil dan etis adalah tugas yang diperintahkan Allah melalui Al Quran.

Manusia tauhid tak boleh diam kala kerusakan melanda bumi. Ia harus terlibat dalam upaya jihad memberantas segala kemunkaran di sekelilingnya. Tetapi, itu bukanlah tujuan akhir, sebab tujuan akhir dari perjalanan manusia tauhid adalah kebahagiaan akhirat. Untuk itu, totalitas jihad dengan mengerahkan segala daya upaya tak boleh berhenti dikumandangkan demi terciptanya nilai-nilai yang diridhai Allah (At Taubah: 40).

Kelima, manusia tauhid bersikap progresif dengan selalu menilai kualitas kehidupannya. Apabila ditemukan unsur-unsur syirik, ia akan membongkar kehidupannya dan membangunnya kembali agar sesuai dengan pesan-pesan Illahi. Ia tak menganggap dirinya sebagai orang besar karena yang besar hanyalah Allah. Anggapan seperti itulah yang menggiringnya untuk selalu merasa kecil di hadapan Allah. Karenanya, ia tidak akan menyombongkan diri, sebab yang berhak sombong hanyalah Allah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar